Untuk Anda Kami Ada

Kondisi Terkini Pemandian Sayuran


Fakta tentang kondisi terkini pemandian sayuran yang berada di desa soko, kecamatan jepon, kabupaten blora, ternyata jauh dari apa yang diberitakan selama ini. Memang dulu, tempat wisata ini menjadi favorit bagi sebagian besar warga blora yang ingin berlibur di akhir pekan.

Letaknya yang berada diatas bukit, memungkinkan para pengunjungnya dapat menikmati pemandangan alam dibawahnya. Selain itu, ada kolam- kolam renang untuk anak- anak dan orang dewasa. Demikian pula, ada sebuah tempat yang sangat sakral bagi warga sekitar. Lokasinya berada di puncak bukit sayuran, warga mengenalnya sebagai tempat bersemadi para penganut kepercayaan kejawen.

Lain dulu, lain pula kondisi tempat wisata pemandian sayuran saat ini. Akses jalan yang bagus, memudahkan saya untuk mencapai ke lokasi dengan mudah. Berbeda dengan beberapa waktu yang lalu, dimana kondisi jalan yang rusak parah. Suasana tampak sepi dan hanya sesekali truk pengangkut batu kapur dan beberapa sepeda motor melintas.

Kondisi pintu gapura sebagai pintu masuk utama menuju kolam- kolam renang didalam area pemandian sayuran terlihat banyak sekali corat- coret berupa gambar dan tulisan. Pintu gapura telah rusak dengan kondisi tidak digembok, demikian pula dengan pagar besinya sudah berkarat dan ada yang hilang.

Masuk ke area kolam- kolam terlihat akses jalannya yang tidak terawat dan banyak sampah dedaunan. Sampai ditepian kolam, tak ada airnya sama sekali dan terlihat banyak ubinnya yang terlepas. Tampak pula jejak- jejak tangan usil yang meninggalkan coretan- coretan di dinding kolam. Banyak sekali terdapat retakan- retakan di dasar kolam dan pada dindingnya.

Kemudian saya bergegas keluar dari area kolam pemandian sayuran, menuju ke tempat persemadian para penganut aliran kepercayaan . Terlihat dari kejauhan gapura lengkung berwarna putih, terdapat sederet tulisan aksara jawa dan tulisan "Waringin seto". Pintu gapura terkunci rapat dan digembok, menandakan tempat ini masih dirawat. Terbukti pada bagian dalam area tempat persemadian ini bersih, meskipun didalam terdapat pohon- pohon perdu yang bersulur. Berbeda dengan bagian halaman luar yang dibiarkan kotor.

Penasaran dengan jalan berbatu yang sepertinya menuju ke bagian belakang dari tempat persemadian ini, ternyata terdapat sebuah bangunan rumah yang bagus. Namun sayang belum sempat melihat kondisi rumah dari jarak dekat, terdengar gonggongan anjing- anjing yang cukup keras dari arah rumah itu. Pertanda kehadiran saya tak dikehendaki.....

Manusia Purba Dan Prasejarah Di Goa Kidang


Gua Kidang berada di kawasan karst Pegunungan Kendeng Utara yang berjarak 35 kilometer dari kota Blora. Gua itu berupa ceruk gunung karst sedalam kira-kira 15 meter dari permukaan tanah bukit karst. Untuk masuk ke gua harus menuruni jalan setapak di areal hutan jati.

Gua itu mempunyai sirkulasi matahari yang baik dan ruangan luas dengan lebar mulut gua 18 meter. Di dalamnya ada ceruk- ceruk dengan stalaktit dan stalagmit. Dahulu, gua tersebut merupakan tempat keluarnya sungai bawah tanah purba. Penelitian manusia purba dan prasejarah di Gua Kidang itu dimulai Balai Arkeologi (Balar) pada 1997. Penelitian baru mengerucut ke kawasan karst Pegunungan Kendeng Utara.

Kerangka remaja berusia 14-19 tahun itu ditemukan meringkuk di kedalaman 80 sentimeter di Gua Kidang, Desa Tinapan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Warga sekitar menyebutnya manusia karst Gua Kidang. Kerangka ditemukan di gua pegunungan karst, Pegunungan Kendeng Utara. Tinggi kerangka remaja yang belum diketahui jenis kelaminnya itu diperkirakan 160-170 cm.

Di sekitar kerangka itu ditemukan pula susunan bongkahan batu gamping, remukan remis cangkang, batu gamping berwarna merah, dan fragmen vertebrata. Dari hasil uji karbon, usia kerangka itu diperkirakan 7.770-9.600 tahun. Penemuan kerangka tersebut menegaskan keberadaan manusia prasejarah yang pernah menghuni gua-gua di pegunungan karst pada zaman Holosen (9560-9300 SM).

Pada 2009, Tim Pola Okupasi Gua Kidang Balar Yogyakarta menemukan artefak cangkang kerang, fragmen kerang, dan tulang binatang. Hal itu mengindikasikan gua tersebut pernah menjadi hunian manusia pada kurun waktu tertentu.

Indah Asikin Nurani - Ketua Tim Pola Okupasi Balar Yogyakarta, mengatakan:

"Manusia saat itu tidak serampangan ketika mempertimbangkan gua atau ceruk sebagai hunian. Mereka memilih gua berdasarkan keamanan dan ketersediaan kebutuhan pokok".

Selain artefak cangkang kerang, fragmen kerang, dan tulang binatang, tim menemukan pula fragmen tulang dan gigi Homo sapiens. Penemuan terpenting tim ialah tiga kerangka manusia prasejarah pada 2011- 2013 di kedalaman tanah 80-150 cm. Salah satunya ditemukan dalam posisi meringkuk, seperti bayi dalam rahim.

”Dari ketiga temuan tiga kerangka itu, tim mempertajam riset tentang pola hidup beserta aspek budaya manusia pada zaman itu".

Manusia saat itu tidak serampangan ketika mempertimbangkan gua atau ceruk sebagai hunian. Berdasarkan Laporan Penelitian Arkeologi, bahwa Pola Okupasi Gua-Gua Hunian Prasejarah Kawasan Pegunungan Kendeng Utara Kabupaten Blora (Balar Yogyakarta, 2005), pola adaptasi manusia karst Gua Kidang untuk mempertahankan hidupnya merujuk pada musim. Pada musim kemarau, mereka mengonsumsi binatang tak bertulang belakang, seperti aneka jenis kerang dan siput.

Itu karena lingkungan sekitar mereka pada waktu itu berupa rawa-rawa. Pada zaman itu, Pegunungan Kendeng Utara merupakan kawasan perbukitan yang terbentuk dari penurunan permukaan laut dan di sekitarnya terdapat rawa-rawa dan sungai purba hasil pengendapan laut dangkal. Pada musim hujan, mereka mengonsumsi hewan bertulang belakang. Itu terbukti dari temuan artefak dan ekofak (sisa makanan) hewan darat, terutama kerbau purba.

Tim tidak hanya menggali pola adaptasi manusia prasejarah itu. Temuan kerangka manusia karst tersebut juga membuka pengetahuan baru tentang kecerdasan manusia prasejarah. Mereka mampu membuat alat berburu dan meramu dengan teknologi yang lebih maju dibandingkan dengan temuan jenis Homo sapiens lain. Mereka juga membuat perhiasan dari cangkang kerang, terutama manik-manik.

Mereka membuat peralatan berbahan cangkang kerang dan tulang binatang. Alat dari cangkang misalnya serut, serut bergerigi dan serut lancipan, serta bandul. Adapun alat dari tulang meliputi lancipan, anak panah, spatula, dan alat pengasah. Teknologi pembuatan alat cangkang dan tulang di Gua Kidang lebih tinggi daripada wilayah lain. Mereka pandai memilih bahan baku alat dan menggunakan alat untuk membuat alat lain.

”Mereka membuat alat-alat berburu dan meramu dari cangkang dan tulang dengan cara membentuk dan mengasahnya menggunakan alat batu. Pada alat dari tulang, beberapa artefak yang ditemukan menunjukkan adanya pembakaran untuk pengerasan alat".

Tim juga menemukan ritual penguburan manusia prasejarah itu. Mereka mengenal tentang hidup dan mati yang disimbolkan dengan penguburan jenazah yang menghadap ke barat atau posisi matahari terbenam. Mereka juga mengenal tata cara merawat jenazah. Di sekitar kerangka mereka, tim menemukan remukan batu kapur merah dan remis cangkang kerang. ”Mereka juga meletakkan jenazah dalam posisi terlipat atau meringkuk, seperti bayi di dalam kandungan".

Di Gua Kidang, tim menemukan pula fragmen gigi gajah purba jenis stegodon dan elephas. Menariknya, habitat hewan itu bukan di Pegunungan Kendeng Utara, melainkan di Bengawan Solo purba, Blora, dan Gunung Patiayam, Pati.

”Kami akan melanjutkan penelitian itu. Seberapa jauh daya jelajah manusia karst Gua Kidang bereksplorasi dalam mempertahankan hidupnya?. Apakah mereka mengenal barter dengan manusia-manusia prasejarah di sekitar Bengawan Solo purba dan Patiayam?”.

Suntoyo - Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Perhubungan, Pariwisata, Kebudayaan, Informasi, dan Komunikasi Kabupaten Blora, mengatakan:

Pemerintah menjadikan lokasi temuan sebagai kawasan lindung budaya. Pemerintah dan masyarakat setempat telah diminta menjaga peninggalan prasejarah itu.

Sebelumnya, di Blora ditemukan banyak fosil binatang purba dan manusia prasejarah Homo soloensis. Temuan manusia Gua Kidang diharapkan bisa memperkaya pengetahuan perjalanan manusia purba dan prasejarah.

”Kami berharap Blora menjadi pusat studi manusia purba dan prasejarah untuk melengkapi studi manusia purba di Situs Sangiran, Sragen".

Goa Maria


Gua Maria bisa dimaknai sebagai tempat ziarah khas umat Katholik. Secara umum, Gua Maria ini biasanya terdiri atas bangunan utama yang dibentuk seperti gua tetapi ada juga yang berada pada gua alam asli. Dinamakan Gua Maria karena ditempatkannya patung Bunda Maria ibunda Yesus pada gua tersebut seperti yang ada di Kabupaten Blora. Tempat itu kemudian menjadi tempat ziarah umat Katholik.

Gua Maria adalah wisata religi terpendam di Dukuh Polaman, Desa Sendangharjo, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora yang belum diketahui banyak orang. Keberadaan gua Maria Blora hanya segelintir orang yang tahu. Lokasi gua ini adalah kira-kira 7 kilometer ke arah utara dari kota Blora. Lokasi tepatnya di belokan jalan raya Blora-Rembang, yaitu di di Dukuh Polaman, Desa Sendangharjo, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora Jawa Tengah.

Selain dilengkapi dengan rute jalan salib, di sana juga ada perhentian terakhir yaitu menggambarkan tentang penyaliban Yesus. Perhentian tersebut yaitu berada di atas bukit kecil, yang bisa dicapai kalau jemaat mendaki sedikit anak tangga setapak di balik bukit. Tujuan utama pendirian Gua Muria adalah untuk ziarah, bukan sekadar rekreasi. Umat Katolik dihimbau untuk meluruskan niat jika ingin bepergian ke Gua Maria, bukan untuk jalan-jalan atau untuk foto-foto saja.

Jika Anda berkunjung ke Gua Maria Blora, di sana juga terdapat aula, kapel dan tempat ziarah Gua Maria Sendang Harjo. Gua Maria di Dukuh Polaman, Desa Sendangharjo, Kecamatan Kota Blora ini merupakan salah satu wisata religi di Kabupaten Blora. Sangat bermanfaat dan menambah referensi religius bagi anda sebagai umat Katholik.

Goa Terawang Yang Rupawan


Disebut Goa Terawang karena di dalam goa keadaannya terang benderang, sebab sinar matahari dapat menerobos ke dalam goa sehingga batu-batuan yang berbentuk stalaktit dan stalakmit, nampak jelas begitu indah dan unik sesuai dengan keasliannya yang terbentuk oleh tangan alam. Goa Terawang berada di bawah permukaan tanah dengan kedalaman 5-12 m. Panjang jalur terowongan goa terpanjang 180 m, terpendek 70 m lebar goa 3-5 m.

Kawasan wisata Goa Terawang merupakan kompleks goa yang memiliki enam goa dalam satu kawasan, ini terbanyak di Jawa Tengah. Di dalam kawasan seluas 13 hektar itu terdapat satu goa induk, satu sendang, dan lima goa kecil lainnya yang masih berada satu kawasan seperti Goa Kidang, Goa Gombak, Goa Bebek,Goa Macan, Goa Kuncir dan Goa Landak. Dalam kawasan ini juga terdapat kawasan hutan kayu jati yang telah ditetapkan sebagai hutan lindung, serta terdapat kera- kera yang kini jumlah populasinya semakin berkurang.

Bagian Utara berabatasan dengan desa Cokrowati, sebelah Barat berbatasan dengan desa Ketileng, sebelah Selatan berbatasan dengan desa Ketileng dan Kedungwungu, bagian Timur berbatasan dengan desa Kedungwungu. Dikelilingi oleh hutan jati, wana Wisata ini berada pada ketinggian 172 m dpl, mempunyai suhu udara 21,8°C – 36,6°C dengan curah hujan 1.570 mm per tahun dan topografi datar bergelombang.

Kawasan hutan lindung Goa Terawang yang luas seringkali dijadikan arena perkemahan oleh pengunjung yang memang bertujuan untuk bermalam. Pengunjung wisata harian juga bisa menikmati panorama dengan melalui jalur setapak dan mengikuti rambu-rambu yang telah disediakan.

Kegiatan wisata yang dapat dilakukan adalah trecking di dalam Goa Terawang, berpiknik atau kegiatan penelitian flora dan fauna, dapat juga digunakan sebagai Spooning nooks, rekreasi hutan, menelusuri goa, fotografi, kemah dan menikmati panorama.

Untuk mencapai kawasan ini kita bisa menggunakan alat transportasi pribadi maupun umum. Untuk pengguna transportasi umum jika anda berasal dari luar kota anda bisa berhenti atau turun di Puskesmas Kunduran. Kemudian, pindah ke angkutan minibus jurusan Blora-Todanan yang tersedia tiap saat (pagi sampai siang hari).

Jika anda menggunakan transportasi umum sebaiknya jangan berkunjung pada sore hari, karena sarana transportasi yang masih jarang (menjelang sore) sehingga sangat rawan. Sedangkan bagi pengguna transportasi pribadi jangan khawatir, selain tidak terpacu pada waktu jalan yang dilalui untuk menuju tempat tersebut juga bagus. Pemandangan di sepanjang jalan juga indah dan asri.

Menuju ke pintu goa tersedia anak tangga yang dilengkapi besi pengaman di bagian tengahnya sepanjang 15 meter. Ketinggian kelima goa yang ada di kawasan Goa Terawang bervariasi antara 1 meter dan 24 meter. Lebarnya juga bervariasi, dari 3 meter hingga 18 meter. Goa Terawang ini memanjang, menyerupai deretan rumah yang saling terhubung sepanjang 600 meter lebih. Tinggi langit-langitnya juga bervariasi, antara empat meter. Ada yang berbentuk parabola dihiasi stalaktit berbagai bentuk yang menawan. Bila musim hujan, stalaktit dan stalagmit akan meneteskan air sepanjang musim.

Sayang, Kawasan Wisata Goa Terawang Yang Rupawan ini kurang mendapat perhatian yang serius dari pemerintah ataupun warga sekitar, sehingga kawasan wisata goa terawang kurang terawat dan terbengkalai. Hal ini menyebabkan turunnya jumlah pengunjung dari tahun ke tahun. Namun upaya untuk menggairahkan wisata goa, kini tengah gencar digalakkan oleh Dinas Pariwisata Jawa Tengah.

Kawasan Wana Wisata Goa Terawang Kondisinya Memprihatinkan


Kawasan Goa Terawang merupakan salah satu wisata alam yang memiliki luas 13 hektare. Terletak di kawasan hutan RPH Kedungwungu, BKPH Kalonan, KPH Blora. Selain Goa Terawang sebagai goa utama, ada juga goa goa kecil lainnya seperti Goa Manuk, Goa Bebek, Goa Macan, Goa Kidang, dan lainnya.

Goa Terawang ramai dikunjungi wisatawan saat hari libur, musim liburan atau libur lebaran. Setiap tahun menggelar event Syawalan dengan mengadakan pentas musik dangdut. Namun pada hari-hari biasa sepi pengunjung, hanya ada beberapa muda mudi atau penghobi fotografi yang sering berkunjung untuk mengabadikan keindahan dalam goa.

Kawasan wana wisata Goa Terawang kondisinya memprihatinkan, lihat saja tampak beberapa fasilitas penunjang kawasan Goa Terawang dalam kondisi rusak. Jalan di kawasan wisata tersebut untuk menuju mulut goa tertutup rerimbunan rumput liar.

Demikian pula dengan kondisi jalan yang ada di dalam goa, hanya tersusun dari bebatuan yang licin terlebih saat musim hujan. Seperti saat ini, air hujan terlihat mengalir ke dalam goa sehingga sangat membahayakan. Begitu juga kondisi tangga untuk turun menuju goa juga banyak yang sudah rusak.

Beberapa warga setempat yang setiap hari melewati kawasan goa tersebut mengungkapkan, bahwa kondisi kerusakan tersebut sudah bertahun-tahun terjadi dan hingga sekarang belum ada tanda-tanda akan diperbaiki. Bahkan pos penjaga goa juga terlihat roboh, akibat tertimpa pohon jati dan sampai saat ini juga belum diperbaiki.

Warga sekitar Goa Terawang hanya bisa berharap, bahwa pihak pengelola segera melakukan perbaikan fasilitas penunjang di wana wisata ini. Sungguh disayangkan jika dibiarkan merana keadaannya.

Samin Surosentiko


Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Nama Samin Surosentiko yang asli adalah Raden Kohar . Nama ini kemudian dirubah menjadi Samin, yaitu sebuah nama yang bernafas kerakyatan.

Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan juga masih bertalian darah dengan Pengeran Kusumoningayu yang berkuasa di daerah Kabupaten Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada tahun 1802-1826.

Pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan ajarannya, karena dianggap sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial.

Pada tahun 1903, Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Sehingga sampai tahun 1907 orang Samin berjumlah + 5.000 orang. Pemerintah Kolonial Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.

Dan pada tanggal 8 Nopember 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai RATU ADIL,dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian selang 40 hari sesudah peristiwa itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh radenPranolo, yatu asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap Samin beserta delapan pengikutnya lalu dibuang ke luar Jawa, dan berliau meninggal di luar jawa pada tahun 1914.

Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan pergerakan Samin. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya didistrik Jawa, Madiun. Di sini orang-orang Desa dihasut untuk tidak membayar Pajak kepada Pemerintah Kolonial. Akan tetapi Wongsorejo dengan baberapa pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.

Tahun 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di daerah Grobogan, sedangkan Karsiyah menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati. Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, tetapi mengalami kegagalan.

Tahun 1914, merupakan puncak Geger Samin. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Kolonial belanda menaikkan Pajak, bahkan di daerah Purwodadi orang-orang Samin sudah tidak lagi menghormati Pamong Desa dan Polisi, demikian juga di Distrik Balerejo, Madiun.

Di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga menyerang aparat desa dan Polisi Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu dengan tidak mau membayar pajak.

Tahun 1930, perlawanan Samin terhadap pemerintah Kolonial terhenti, hal ini disebabkan karena tidak ada figur pimpinan yang tanggguh.

Dalam naskah tulisan tangan yang diketemukan di Desa Tapelan yang berjudul Serat Punjer Kawitan, disebut-sebut juga kaitan Samin Surosentiko dengan Adipati Sumoroto Dari data yang ditemukan dalam Serat Punjer Kawitan dapat disimpulkan bahwa Samin Surosentiko yang waktu kecilnya bernama Raden Kohar , adalah seorang Pangeran atau Bangsawan yang menyamar dikalangan rakyat pedesaan. Dia ingin menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Pemerintah Kolonial Belanda dengan cara lain.

Dialog Budaya Dengan Sedulur Samin Di Pendopo Samin


Kesederhanaan, kejujuran, menjaga kelestarian alam dan pakaian adat merupakan beberapa contoh tradisi atau kebiasaan perilaku yang terus dipraktekkan oleh sedulur sikep disini.

Masyarakat sedulur sikep di Dukuh Karangpace ini masih memegang teguh tradisi dan kebudayaannya, suatu sikap yang patut untuk dicontoh. Begitu juga dengan masyarakat Blora yang terus berusaha meneladani nilai-nilai luhur sedulur samin, ditengah terpaan budaya dan keyakinan yang tak sesuai.

Disela kunjungan kerja ke Kabupaten Blora pada Sabtu (7/3/2015) lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi Ibu Negara Iriana mampir ke perkampungan sedulur samin, di Dukuh Karangpace, Desa Klopoduwur, Kec. Banjarejo.

"Semua hal yang berkaitan dengan budaya leluhur yang dari turun temurun selalu dipertahankan. Ini yang nantinya akan menjadi kekuatan bangsa, karakter kita dan tidak hilang ditelan oleh waktu dan jaman", hibauan ini disampaikan Presiden Jokowi saat Dialog Budaya Dengan Sedulur Samin Di Pendopo Samin, Karangpace.

Tentu saja, Presiden Jokowi sangat mendukung tradisi masyarakat Samin yang terus menjaga budaya adatnya. Beliau juga meminta kepada warga Samin khususnya dan masyarakat blora, agar terus merawat perkampungan adat dan budayanya untuk mencegah masuknya budaya asing yang saat ini sangat mengkuatirkan dan merusak generasi muda indonesia pada umumnya.

Popular Posts

close