Untuk Anda Kami Ada

Tradisi Takjilan Di Bulan Ramadhan


Seiring datangnya bulan Puasa atau Ramadhan 1436 Hijriyah/2015 Masehi selama satu bulan penuh, seperti tahun-tahun sebelumnya, sebagian besar masjid di Blora (dan juga masjid-masjid lain di nusantara), menggelar tradisi takjilan di bulan ramadhan. Pemberian takjil dilakukan menjelang berbuka atau setelah sholat Tarawih.

Banyak macam takjil, seperti nasi, roti, kurma, kolak, teh, maupun camilan tradisional lokal lainnya. Biasanya takjil diberikan kepada orang yang hendak berbuka, termasuk para musafir yang berada dalam perjalanan. Takjil itu dikelola oleh takmir masjid dan disediakan oleh para jamaah masjid setempat.

Takjil disediakan oleh umat secara sukarela sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama. Apalagi dalam ajaran agama Islam dianjurkan untuk memberi buka puasa secara iklas kepada orang yang berpuasa, karena akan mendapatkan ganjaran yang sama seperti orang yang berpuasa itu. Atas dasar itulah akhirnya takjil diberikan selama bulan puasa dan dipusatkan di masjid, surau, musholla, atau langgar.

Kebiasaan memberi takjil itulah akhirnya menjadi rutinitas dan menjadi tradisi dalam masyarakat kita. Sehingga pada bulan Ramadhan, sudah bisa diduga, masjid-masjid akan lebih ramai dan makmur jika dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.

Memang beda antara masjid satu dengan lainnya dalam memberikan takjil kepada para musafir dan orang yang berpuasa, tergantung kemampuan masjid dan masyarakatnya. Ada yang setiap hari memberi takjil berupa nasi lengkap dengan minuman manis dan kurma, ada yang mampu memberi nasi bungkus dan air putih, ada juga yang berupa roti, snack, dan minuman. Namun yang jelas, pemberian takjil harus didasarkan pada keikhlasan pribadi masing-masing tanpa rasa keterpaksaan.

Fenomena pemberian takjil di masjid-masjid memang sangat beragam. Keberagaman takjil yang disajikan itu kadang membuat penasaran bagi orang yang berpuasa, dan tak jarang mereka memanfaatkan berbuka puasa safari dari satu masjid ke masjid lainnya. Tentu saja, selain untuk mencoba berbagai menu khusus sekalian mengenal keunikan masjid-masjid tersebut. Apalagi berbuka puasa di masjid tidak membayar alias gratis. Jadi bisa irit selama sebulan. Lepas dari itu semua, memang setiap bulan puasa memberi warna lain di masjid dengan adanya tradisi takjilan di bulan ramadhan.

Tradisi Ngupati Sapi


Tradisi Ngupati Sapi merupakan salah satu tradisi asli Kabupaten Blora, yaitu sejenis dengan ritual komunal untuk mendoakan sapi-sapi yang telah membantu pekerjaan masyarakat dalam membajak sawah dan lain sebagainya. "Tradisi Ngupati Sapi" artinya memberi sedekah pada sapi dengan cara dikalungkan pada leher sapi, berupa ketupat atau lepet yang sudah matang dan sudah didoakan dalam kendurian sederhana dengan mengundang tetangga dekat.

Walaupun mengalami perbedaan dengan yang dilakukan masyarakat dahulu, tetapi perbedaan itu tidaklah hal yang berdampak negatif, semua maksud dan tujuannnya sama yaitu sama-sama berdoa, baik untuk sapinya maupun untuk warga desa tersebut, dan hal yang berbeda hanyalah tata caranya. Karena apa yang dilakukan masyarakat sekarang merupakan kelanjutan dari tradisi masyarakat terdahulu, sesuai dengan pengetahuan dan keyakinannya maka terjadi perbedaan itu.

Tradisi Ngupati Sapi" masih berlangsung di sebagian besar wilayah pedesaan di kabupaten Blora. Hingga sekarang masih terus dilaksanakan pada Bula suro dan waktu panen tiba.

Alasan mengapa hanya sapi yang "dikupati" padahal yang kita ketahui banyak hewan-hewan yang lain yang dipelihara masyarakat, hal ini dikarenakan sapi dianggap sebagai rojokoyo (harta berharga) yang mempunyai nilai jual tinggi dan cepat berkembang sebagai simpanan kekayaan masyarakat setempat, terbukti jika seseorang mempunyai banyak sapi maka dia dianggap orang kaya.

Selain alasan tersebut, sapi dapat membantu pekerjaan manusia, misal saja ketika hendak menanam padi, sawah yang masih kosong dialiri air yang cukup kemudian dibajak dengan sapi, kotoran sapi juga bisa digunakan sebagai pupuk alami tanpa harus membeli pupuk kimia, sapi juga bisa membantu membawa barang-barang yang berat dengan gerobak, jadi bisa dikata sapi banyak berguna dalam membantu manusia dan sudah selayaknya jasa sapi dihargai.

Seperti yang kita ketahui bahwa sebuah tradisi berlangsung secara turun-temurun selama itu masih diyakini oleh masyarakat yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan Tradisi "Ngupati Sapi" yang ada, tetapi ada sedikit perbedaan dalam hal keyakinan, jika masyarakat zaman dahulu memberi kalung pada sapinya dengan keyakinan bahwa sapi yang dikalungi akan beranak-pinak menjadi banyak dan selamat, masyarakat sekarang tidak melainkan hanya mendoakan, karena diyakini bahwa doalah yang bisa mengantarkan permintaan mereka kepada Allah untuk dikabulkan dan memberi kalung ketupat hanyalah sebagai simbol saja.

Makna dan tujuan yang terkandung dalam tradisi ini adalah memberi penghargaan atau brokohan (sedekahan) kepada sapi yang telah berjasa dalam membantu kegiatan manusia, supaya diberi kesehatan, keselamatan dan beranak-pinak menjadi banyak, serta harta yang dimiliki diberkahi oleh Allah swt, selain itu doa juga dipanjatkan untuk leluhur dan masyarakat semuanya.

Tidak semua masyarakat terlibat dalam hal ini, karena orang yang tidak mempunyai sapi tidak ikut membuat ketupat dan biasanya diberi oleh tetangga dekat. Tradisi ini termasuk dalam jenis ritual komunal karena kebanyakan masyarakat masih menjalankannya. Ritual ini dijalankan sesuai dengan kepercayaan masyarakat sekarang, sehingga terdapat sedikit perbedaan dengan masyarakat dahulu.

Tradisi Ngupati Sapi" tidak selamanya berlangsung secara statis melainkan secara dinamis, karena pemikiran antara orang dahulu dengan orang sekarang memiliki perbedaan, meskipun demikian tidak menghapus tradisi yang sudah ada sejak dulu, mereka yang masih memiliki sapi tetap melaksanakan tradisi ini, hanya saja proses pelaksanaannya yang berbeda.

Perayaan Badha Kupat


Perayaan Badha Kupat dilaksanakan seminggu setelah lebaran fitri oleh warga pedesaan di Kabupaten Blora. Konon, yang pertama kali memperkenalkan budaya bodo kupat adalah para sunan wali songo (wali sembilan), sebab mereka setelah berpuasa ramadhan selama sebulan dan berbuka sehari pada Idul Fitri (lebaran hari pertama).

Maka mulai hari kedua lebaran sampai hari ketujuh biasanya menyambung puasa lagi selama 6 hari, yaitu puasa 6 hari syawal yang hukumnya sunah, baru kemudian sore hari ketujuh dan hari kedelapan berbuka seperti hari-hari lainnya dalam setahun.

Kemudian diantara wejangan dan nasehat wali-wali tersebut, bahwa barang siapa yang berpuasa Ramadhan selama sebulan dan kemudian dilanjutkan dengan puasa enam hari pada bulan Syawal maka akan mendapatkan keselamat dunia akhirat, atau keselamatan yang sempurna, atau dalam bahasa arabnya Salamatan Kaaffatan.

Kata bahasa arab inilah (salamatan kaaffatan) yang ketika diadopsi oleh telinga orang jawa maka berubah pengucapannya menjadi Selamatan Kupatan, sehingga nama lain dari "badha kupat" adalah selamatan kupat.

Sedangkan kata "badha", asalnya yaitu dari bakda yang lengkapnya bakda syawal atau setelah syawal, karena dirayakan seminggu setelah satu syawal. Kemudian kata bakda syawal dan salamatan kaaffatan ini adaptasi menjadi bakda kaaffatan, kemudian menjadi bakdha kupatan, kemudian menjadi "badha kupat".

Kata "badha" inilah yang kemudian diadaptasi dalam bahasa Indonesia menjadi Lebaran, yang aslinya dari kata lebar atau bar yang dalam bahasa jawa berarti sesudah atau selesai, sama dengan arti badha yang aslinya bakda (sesudah) dan bakdha.

Kata yang lainnya, konon kata "kupat" berasal kependekan frasa "nyukupke kang papat" (melengkapi empat hal), atau dari frasa "laku kang papat" (melakukan empat hal), empat hal yang dimaksud yaitu, puasa ramadhan selama sebulan, kemudian membayar zakat fitrah, sholat Ied dan yang terakhir puasa enam hari pada bulan syawal.

Sedangkan yang lain mengatakan asli kata kupat berasal dari frasa "ngaku lepat" atau "kulo lepat' yang berarti mengakui kesalahan dan kekeliruan, hal inilah yang kemudian mendasari tradisi saling memaafkan dan silaturrahim pada waktu Idul Fitri.

Kemeriahan perayaan badha kupat yang dilakukan oleh warga desa, bahkan bisa jadi melebihi kemeriahan Iedul Fitri. Saling mengunjungi tetangga dalam lingkup satu desa, diteruskan dengan mengunjungi saudara di lain desa. Demikian pula dengan hidangan yang disajikan di setiap rumah warga, anda akan melihat berbagai jenis masakan dan jajanan untuk memulyakan tamu yang datang.

Melestarikan Wayang Krucil Sebagai Kesenian Khas Blora


Wayang krucil sebagai kesenian khas di Kabupaten Blora semakin terpinggirkan karena berkurangnya minat generasi muda yang tertarik untuk melestarikan kesenian ini. Dalang wayang krucil di Kabupaten Blora yang masih terus aktif memainkan wayang yang terbuat dari kayu ini sudah uzur usianya dan diperkirakan hanya tinggal 10 orang saja.

Sebagai wujud keprihatinan dengan kondisi seni wayang krucil saat ini, Paguyuban Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) Kabupaten Blora sedang gencar-gencarnya melakukan agenda wayangan rutin setiap malam Jumat Pon di Pendopo Kabupaten sebagai upaya melestarikan wayang krucil sebagai kesenian khas blora.

Selama ini, warga masyarakat Blora hanya mengenal pementasan wayang krucil yang digelar setiap acara manganan atau sedekah bumi di Desa Janjang. Acara tersebut merupakan tradisi tahunan yang sudah berjalan puluhan tahun, sedangkan pementasan wayang krucil pada event lainnya tidak pasti jadwalnya.

Tidak heran setiap pementasan wayang krucil di Desa Janjang Kecamatan Jiken selalu dipadati penonton. Seperti pada saat digelar Manganan Janjang pada Jumat (29/5/2015) lalu, ribuan pengunjung acara Manganan Janjang berdesakan menonton pertunjukan wayang krucil yang digelar di komplek Pesarean Eyang Jatikusumo dan Eyang Jatiswara sebagai tokoh penyebar Islam di desa setempat.

Wayang krucil selalu dipentaskan setiap ada acara manganan dan sedekah bumi di Desa Janjang. Pementasan wayang krucil yang sederhana dan masih sangat tradisional, hanya diiringi beberapa alat gamelan yakni satu kendang, satu gambang, satu gong, kempul, siter dan gedhok dalang. Tidak memakai gamelan karawitan lengkap, seperti: pagelaran wayang kulit, namun demikian sudah bisa menarik banyak penonton untuk berdatangan menyaksikannya.

Popular Posts

close