Untuk Anda Kami Ada

Belajar Pada Mbah Lasio

Langit masih cerah ketika Mbah Lasio tokoh Samin, Dukuh Karangpace Desa Klopoduwur kecamatan Banjarejo, Minggu (16/11/2014) menggiring pulang beberapa ekor sapi miliknya. Seperti kebiasaan, ternak sapinya digembalakan sejak pagi saat matahari terbit di kawasan hutan jati, hingga kira-kira pukul 09.00 WIB. Kemudian sore harinya, jika tidak hujan, sapi-sapi itu kembali digiring merumput atau mencari pakan ke tempat yang sama, berbaur dengan sapi milik sedulur-sedulur Samin lainnya.

" Niki nembe mawon wangsul saking gereg sapi (Ini baru saja pulang dari menggiring sapi)", ujar Lasio, di Klopoduwur, Minggu (16/11/2014).

Penampilannya sederhana, namun auranya menunjukkan sikap yang selalu memegang teguh ajaran Samin dari Kakek Buyutnya yakni Kek Engkrek dan alam yang ada di sekitarnya.

Lasio memulai kisahnya dengan sapi-sapi yang dipeliharanya. Sesekali dirinya menunjukkan sikap trenyuh antara mempertahankan ajaran Kakek Buyut dengan yang terjadi di era sekarang ini. Sebab, sapi miliknya pernah dipinjam orang dengan dalih kata dikarepke untuk sesuatu kebutuhan.

" Amargi dikarepke, nggih kula sukaake, awit jawabe kangge betahan, kedadosan niki sampun dangu, kirang langkung wonten gangsal tahun kepengker, (karena diminta ya saya berikan karena dipakai untuk kebutuhan, kejadian itu sudah lama, sekitar lima tahun lalu) ", ujar lelaki paruh baya itu polos.

Tetapi, bukan itu yang sejatinya diharapkan oleh Lasio, istilah ngarepke, nganggokke, jika sudah tidak karep atau sudah tidak dikanggokke sebaiknya juga dikembalikan. Hal itu, sama dengan istilah hutang piutang.

" Wonten sekawan lembu ingkang dikarepake sedulur, menawi di aji arta, kirang langkung nggih Rp16 juta, malah wonten sing diwangsulake arta sarana ngangsur sak elinge, nggih kersane mriku wong kula mboten arep-arep, sampun kula ikhlaske (Ada empat ekor sapi yang dipinjam sejumlah Sedulur, kalau dihitung dengan uang jumlahnya Rp16 juta, malah ada yang mengembalikan berupa uang dengan cara diangsur, ya biarkan saja, karena saya tidak mengharapkan, sudah direlakan)", kata suami Wahini itu.

Disadari oleh Lasio, istilah ngarepke menjadi kurang tepat jika pada akhirnya dimanfaatkan oleh kelompok atau perorangan di jaman sekarang. Hidup sederhana, bukan berarti dia tidak ingin papan, pangan dan sandang yang cukup. Tetapi, karena bersikukuh memegang ajaran leluhur, dia pun tak merisaukannya.

"Warga Karangpace pernah mendapatkan bantuan ternak sapi, tetapi karena tidak meminta dan ditumpangi oleh kepentingan tertentu, maka bantuan itu dikembalikan ke pemerintah kabupaten Blora".

" Kula gadhah paugeran menawi, " wong cilik, wong digethingi, wong bodho lan sanese bakal dikanggokke", (Saya punya prinsip, orang kecil, orang yang dibenci, orang bodoh, suatu saat akan ada gunanya), tegas Lasio.

Lasio, memang tidak bisa baca tulis, tetapi naluri titen (mengingat /merekam) pada kejadian alam dan dunia menjadi laku dedeg yang hingga kini masih dijalani sebagai bentuk pelestarian budaya.

" Nglampahi ajaran Kek Engkrek niku awrat, jaman sak niki malah sok-sok diideg kekarepan, ( Menjalankan ajaran Samin itu berat, jaman sekarang terkadang malah diinjak kepentingan),” ungkapnya.

Mengakhiri perbincangan, Lasio mengungkap ejaan nama dan maknanya. Nama yang disandang sejatinya pemberian dari Mbah Godek, kakeknya yang juga tokoh Samin, Klopoduwur.

" Nami kula Lasio, niku ingkang paring Mbah Godek, simbahe kula saking Kek Engkrek, nggih tokoh Sikep miriki, maknanipun, las niku gabah ingkang campur beras diinteri wonten tampah lajeng dibucal, dados wiji lan thukul dados wiji sejati, nggih kula niki. (Nama saya Lasio, pemberian dari Mbah Godek, kakek saya keturunan Kek Engkrek. Artinya, las itu bulir padi yang tercampur beras, kemudian dibersihkan dan disisihkan kemudian dibuang selanjutnya bersemi menjadi benih sejati, ya...saya ini ", ujarnya diiringi senyum mbah Lasio.

Popular Posts

close