Untuk Anda Kami Ada

Adat-istiadat Perkawinan Wong Samin

Dalam Adat-istiadat perkawinan wong Samin salah satu sandaran yang digunakan terungkap dalam tembang 'Pangkur' yang berbunyi demikian:

Saha malih dadya garan,
anggegulang gelunganing pambudi,
palakrami nguwoh mangun,
mamangun treping widya,
kasampar kasandhung dugi prayogantuk ambudya atmaja tama, mugi-mugi dadi kanthi.

Tegasnya, perkawinan adalah wadah prima bagi manusia untuk belajar, karena melalui lembaga ini kita dapat menekuni ilmu kesunyatan. Bukan saja karena perkawinan nanti mebuahkan keturunan yang akan meneruskan sejarah hidup kita, tetapi juga karena sarana ini menegaskan hakikat ketuhanan, hubungan antara pria dan wanita, rasa sosial dan kekeluargaan, dan tanggung jawab. Jelas, wong Samin memandang sakral terhadap lembaga perkawinan (Sastroatmodjo, 2003:38-39).

Terbawa oleh sikapnya yang menentang penjajah, kemudian orang-orang Samin membuat tatanan sendiri, adat-istiadat sendiri, seperti adat-istiadat perkawinan dan kebiasaan-kebiasaan yang menyangkut kematian. Pernikahan dilakukan di masjid, tetapi mereka menolak pembayaran mas kawin, alasannya karena penganut “agama Adam”. Lagi pula pembayaran untuk menyelenggarakan upacara perkawinan dianggapnya melanggar ajaran. Untuk menghindari kesalahpahaman dari kelompok yang bukan Samin, perkawinan kemudian dilakukan di Catatan Sipil (Mumfangati, 2004:29).

Pada dasarnya perkawinan adat yang berlaku dalam masyarakat Samin adalah endogami, yakni pengambilan jodoh dari dalam kelompok sendiri, dan menganut prinsip monogami. Dalam pola perkawinan ini yang dipandang ideal adalah isteri cukup hanya satu untuk selamanya: bojo siji kanggo salawase turun-temurun. Sebagai landasan berlangsungnya perkawinan, adalah kesepakatan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Kesepakatan ini merupakan ikatan mutlak dalam lembaga perkawinan wong Samin.

Sebagaimana halnya dengan adat-istiadat lainnya, adat- istiadat perkawinan wong Samin dimulai dengan pra-lamaran dan lamaran. Yang dimaksud dengan pra-lamaran adalah persesuaian paham antara pihak lelaki dan orang tua perempuan, antara si jejaka dan si gadis. Baru sesudah itu meningkat ke satu tingkatan yang lebih maju lagi yang biasa disebut orang sekarang lamaran.

Cara melakukan lamaran itulah yang berbeda, adat- istiadat perkawinan dalam masyarakat Samin dimulai dengan pra-lamaran dan lamaran yang tersendiri. Pra-lamaran dan lamaran, cukup diselesaikan oleh orang tua lelaki dengan orang tua si gadis saja, atau pun ada kalanya hanya diurus langsung oleh si jejaka dan si gadis yang bersangkutan sendiri. Sifat mudah dan sederhana itulah yang kadang-kadang digunakan pula oleh masyarakat diluar wong samin untuk mengacau kemurnian adat perkawinan ini. Wong Samin tidak mengenal perantara untuk menghubungkan perkawinan anaknya itu.

Sesudah antara orang tua si lelaki dan orang tua si perempuan atau si jejaka dan si gadis bersesuaian paham, maka itu berarti sudah terikat dalam suatu pertunangan dan berarti pula sudah dilaluinya masa peminangan atau pelamaran. Kesepakatan itu terwujud apabila "calon suami dan isteri" saling menyatakan "padha dhemene" (saling suka sama suka). Pernyataan ini bukan sekedar ucapan, tetapi diikuti dengan bukti tindakan dengan melakukan hubungan layaknya suami- istri. Selesai melakukan, laki-laki "calon suami" memberitahukan kepada orang tua si gadis "calon isteri". Hal itu dilakukan, setelah orang tua laki-laki melamar kepada keluarga pihak perempuan dan diterima.

+ "Oh ya Le, wis tak rukunke,ning ana buktine. Mbesuk nek wis wayahe sikep rabi mbok lakoni, kowe kandha aku".
(Oh ya saya setuju, tetapi harus ada buktinya. Nanti kalau anak saling mencintai dan melakukan hubungan suami isteri memberitahukan saya)

Setelah itu:
- "Pak, lare sampeyan mpun kula wujude tatane wong sikep rabi". (Pak, putri Bapak dan saya sudah saling mencintai dan semalam saya sudah melakukan kewajiban sebagai suami).

+ "Iya, Nduk?" (Benarkah, Nak?)
– Nggih” (Ya)
+ "Apa kowe wis padha dhemen tenan?". (Apa kamu sudah saling mencintai?)
- “Nggih” (Ya)
+ "Nek kowe wis padha dhemen aku mung karek dhemen nyekseni Iho, Ten".(Kalau begitu, sebagai orang tua saya tinggal meresmikan, Nak).

Tahapan pertunangan ini harus dilalui oleh si jejaka dengan suatu masa percobaan kepadanya. Masa percobaan ini biasa disebut dengan "magang". Artinya diselidiki dikirim oleh orang tuanya atau datang dengan sukarela ke rumah si gadis untuk menetap tinggal di sana, seraya membantu dan menolong pekerjaan orang tua si gadis itu. Tidak dikatakan berapa jumlah hari si jejaka harus melakukan demikian, hanya semata-mata bergantung kepada kesanggupan dan kemampuan si jejaka dan si gadis itu sendiri, dalam membatasi dirinya masing-masing selaku di luar suami-isteri.

Jika kesanggupan dan kemampuan keduanya untuk membatasi diri itu sudah berakhir, artinya mereka sudah hitiup selaku suami isteri (terangnya mereka sudah melakukan hubungan kelamin), maka ketika itulah orang tua si gadis memberitahukan kepada ” sedulur-sedulur-nya bahwa anaknya sudah kawin.

Satu hal yang harus diingat, anak gadis itu harus memberitahukan kepada orang tuanya pada hari pertama sesudah mereka selaku suami isteri itu. Tidak boleh tarlambat dan tidak ada hari esok untuk menyatakan hal itu. Terlambat dan hari esok berarti melanggar kebiasaan mereka.

"Pak, aku wis lak" – (bapak, saya sudah kawin, kata si gadis itu kepada orang tuanya keesokan harinya).
” Ya, takkandhakna sedulurakeh”, – (Ya akan saya beritahukan saudara-saudara kita semuanya”, ayahnya menjawab).

Pada hari yang sudah ditentukan, orang tua si gadis itu pun mengundang “sedulur-sedulur”nya untuk turut menyaksikan peresmian pengantin itu. Orang tua si gadis memberitahukan kepada yang hadir sebagaimana yang telah disampaikan oleh anaknya itu.

Apabila si jejaka tidak membantah, berarti apa yang dikatakan oleh si gadis pada orang tuanya dan selanjutnya diteruskan kepada yang hadir adalah benar. Dengan demikian resmilah sudah perkawinan itu. Para tamu sudah memakluminya dan sesudah selesai berpesta sekedarnya, mereka pun minta diri untuk pulang ke rumahnya masing-masing.

Adat-istiadat perkawinan wong samin yang berlaku, menunjukkan bahwa sahnya perkawinan dilakukan sendiri oleh orang tua laki-laki, si gadis. Dasar pengesahan perkawinan ini adalah pernyataan "padha dhemen" antara seorang laki-laki dengan seorang gadis dengan bukti yang dilukiskan seperti tersebut di atas. Tampak bahwa lembaga perkawinan itu hingga sekarang masih berlaku. Meskipun ada kalanya wong Samin yang mengawinkan anaknya tidak dengan cara adat ini, tetapi hampir semuanya tetap dengan cara adat mereka yang sudah berlaku lama.

Prasongko (1981), menjelaskan tentang sahnya perkawinan kecuali ayah si gadis anggota kerabat ayah si gadis, yang dalam hal ini berperan sebagai wali yang berhak menjadi wali antara lain saudara laki-laki sekandung ayah, saudara-saudara sepupu ayah, anak laki-laki dan saudara laki-laki ayah, dan anggota kerabat lain menurut garis ayah (laki-laki) ke atas, misalnya kakek (orang tua laki-laki ayah), saudara laki-laki kakek baik sekandung maupun sepupu. Jadi generasi ayah ke atas yang terhitung berdasar pancer lanang atau tunggal bibit dapat menjadi wali dalam perkawinan. Bilamana tidak dapat menemukan wali, maka dapat orang lain (wali njileh).

Popular Posts

Labels

close