Untuk Anda Kami Ada

Kematian Menurut Wong Samin


Wong Samin tidak mengenal perkataan wafat, meninggal, dan mati. Tetapi mereka mengenal perkataan "salin panggonan" atau "salin sandhang" sebagai pengganti kata-kata wafat, meninggal, dan mati. Mereka tidak terlalu bersedih hati dalam menghadapi "sedulur- sedulur"  yang "salin sandhang itu, kalau dibandingkan dengan orang-orang di luar lingkungannya. Hal itu mungkin disebabkan karena mereka tidak mengenal alam kehidupan akhir, alam baka yang merupakan hari-hari pertimbangan bagi orang-orang yang beragama Islam, Kristen, Budha, dan Hindu.

Dalam hal kematian, wong Samin juga mempunyai tata cara sendiri. Menurut anggapan mereka, orang itu tidak mati, tetapi salin sandhangan. Maksudnya apabila roh lepas dari raga (jasmani, tubuh), ia mencari tempat baru, yakni ikut anak cucu. Pemahaman kematian menurut wong samin ini sesuai dengan ajaran Samin Surosentiko:

"Wong enom mati uripe titip sing urip. Bayi uda nangis nger niku suksma ketemu raga. Dadi mulane wong niku boten mati.Nek ninggal sandhangan niku tiggi. Kedah sabar lan trokal sing diarah turun- temurun. Dadi ora mati nanging kumpul sing urip. Apik wong selawase sepisan, dadi wong selawase dadi wong."

Mereka percaya bahwa, "salin sandhang itu adalah bebas tugas kehidupan dan selanjutnya tidak perlu dibicarakan lagi", karena sudah tidak bergaul dan kelihatan bersama-sama mereka. Pada malam hari pertama sesudah meninggal, mayat itu diletakkan di bawah pohon-pohon kayu yang berada di dekat rumah yang mati.

Pada siang hari sebelumnya, keluarga telah mengumpulkan kayu api guna menghidupkan api unggun pada malam pertama itu. Api unggun ini menyala semalam suntuk di dekat mayat itu, dan dijaga bersama-sama atau bergantian agar si mayat tidak diganggu oleh hal-hal di luar kemampuan mereka.

Api unggun yang menyala sepanjang malam di dekat pembaringan mayat pada malam pertama itu disebut "setran" menurut istilah mereka, dan mayat yang didekatkan api unggun itu disebut "disetra". Karena kelengahan penjaga api unggun, maka pernah terjadi mayat yang sedang "disetra" itu dimakan binatang buas.

Untuk mencegah kemungkinan terulang kembali , selanjutnya mayat itu tidak lagi diletakkan di bawah pohon-pohon, tetapi cukup di dalam rumah saja asal disertakan pohon-pohon dan api unggun itu. Api unggun yang kecil dan pohon-pohon simbolis yang dilakukan dalam rumah akhirnya sudah cukup sebagai pengganti pohon-pohon besar dan api unggun yang besar pula.

Pada malam pertama, selain keluarganya datang pula tetangga-tetangganya yang lain untuk turut bersama-sama duduk dekat mayat itu serta menghidupkan api unggun dan bercakap- cakap. Yang dipercakapkan adalah hal ikhwal sehari-hari.

Keesokan harinya barulah mayat itu di tanam di pekarangan rumah si mati itu. Mereka tidak memiliki makam tertentu. Di atas timbunan mayat ditanam orang pohon yang berguna bagi keturunannya, biasanya pohon pisang. Wong Samin tidak mengenal alam akhir begitu pun mereka tidak mengenal sajen atau sesembahan-sesembahan lainnya yang ditujukan kepada kekuatan- kekuatan gaib.

Orang Samin yang meninggal tidak dimakamkan di makam umum, ada kecenderungan orang yang meninggal dimakamkan di mana dia mau, dan biasanya di sekitar kediaman mereka dengan diberi tanda tertentu. Namun hal itu telah berbeda untuk zaman sekarang. Mungkin karena hubungan dengan masyarakat di luar kelompok wong Samin ini memberikan perubahan cara penguburan orang meninggal dunia.

Popular Posts

close